Ban Bekas Diolah Jadi Aksesoris Tas dan Perhiasan
Di sebuah rumah kayu bergaya khas Jawa di Desa Tetep Gambir, 
Salatiga, Jawa Tengah, sekelompok orang yang tergabung dalam Komunitas 
Sapu tengah melakukan sebuah karya kreatif.
Diselimuti udara sejuk kota yang terletak di kaki Gunung Merbabu itu,
 kelompok ini tengah melakukan apa yang mereka sebut sebagai proses 
“upcycle” barang-barang bekas terutama dari ban bekas truk.
“Kami menyebutnya up cycle karena proses perubahan bentuk dari barang
 bekas ke barang berguna yang kami ciptakan di sini tak butuh waktu 
lama,” kata Sindu Prasastyo (33), inisiator kelompok kreatif ini.
Lalu apa yang diproduksi komunitas Sapu ini dari ban-ban bekas 
tersebut? Ternyata mereka memproduksi berbagai aksesoris seperti gelang 
atau gantungan kunci hingga berbagai jenis dompet dan tas. “Kami membuat
 dompet, aksesoris, hingga tas laptop dari ban-ban bekas ini. Semuanya 
ada sekitar 30 item,” tambah Sindu.
Ide kreatif Sindu dan kelompoknya ini memang sangat unik. Siapa 
sangka dari ban-ban bekas yang bagi sebagian orang tak berharga lagi 
bisa disulap menjadi barang yang tak hanya berguna namun secara estetika
 juga patut diapresiasi dan ramah lingkungan. Bagaimana ide kreatif ini 
berawal?
Sindu menjelaskan ide ini berawal saat dia aktif berkegiatan di LSM 
Tanam untuk Kehidupan (TUK), sebuah organisasi non-pemerintah yang 
bergerak di bidang lingkungan di Salatiga dan sekitarnya, dalam kurun 
waktu 2006-2010. Di situlah pemuda ini banyak belajar dan mengembangkan 
ide memproduksi barang-barang daur ulang.
“Tapi ide menciptakan sesuatu dari ban bekas baru muncul pada 2010. 
Awalnya saya mencoba dari plastik. Namun, menurut saya plastik kurang 
kuat dan awet untuk memproduksi sesuatu. Setelah melewati banyak 
eksperimen akhirnya ketemu ban bekas,” katanya sambil menambahkan kini 
dia sudah memiliki pelanggan pemasok ban bekas dari kota Semarang.
Kelebihan ban bekas, lanjut Sindu, selain kuat dan awet, bahan baku 
ban bekas juga tersedia dalam jumlah yang melimpah. Akhirnya Sindu 
menetapkan untuk mencoba berkarya menggunakan bahan ban truk bekas.
Sempat merugi
“Saat mulai skalanya masih kecil dan masih bekerja sendiri. Omzet 
juga maksimal hanya Rp 1.000.000 dan tak jarang harus nombok. Tapi saya 
yakin kerajinan ini bisa berkembang karena nampaknya di Indonesia belum 
ada yang menggunakan ban bekas untuk membuat aksesoris dan tas,” 
paparnya.
Ketika memulai, Sindu menitipkan barang-barang karyanya ke dua buah 
toko di Jogjakarta. Ternyata sambutan pasar cukup menggembirakan, 
terutama dari para wisatawan asing yang mengunjungi kota tersebut.
“Sejak 2012 usaha mulai berkembang. Omzet meningkat hingga Rp 15 juta
 per bulan. Sejak itu saya sudah mulai dibantu lima orang untuk 
mengerjakan pesanan. Saat ini sudah 10 orang yang membantu saya,” kata 
dia.
Kini, tambah Sindu, setiap bulan dia mengerjakan pesanan sekitar 
1.250 item. Sebanyak 1.000 item adalah pesanan pembeli di luar negeri 
antara lain Belanda, Perancis, Inggris dan Australia. Sementara sisanya 
dikirim ke sejumlah toko di Yogyakarta dan Bali.
Dengan kapasitas produksinya saat ini, Sindu mengaku, omzetnya 
rata-rata per bulan saat ini bisa mencapai Rp 70 juta. Dengan omzet 
sebesar itu, dia bisa membayar gaji 10 karyawan, mencicil pinjaman ke 
bank, dan membeli lahan untuk lokasi baru rumah produksinya kelak.
“Harga produksi saya variatif. Kalau aksesoris seperti gelang 
rata-rata berharga Rp 20.000 per buah.  Sementara tas juga bervariasi, 
paling mahal tas laptop, harganya Rp 350.000,” kata dia.
Kapasitas produksi
Meski produksinya saat ini sudah meningkat pesat dibanding saat baru 
memulai usahanya sekitar tiga tahun lalu, Sindu sebenarnya sangat ingin 
usahanya berkembang lebih lanjut. Namun, kendalanya adalah kapasitas 
produksi yang masih sangat terbatas.
“Sekarang dengan karyawan 10 orang, kami hanya mampu memproduksi 
rata-rata 1.250 item per bulan. Jika ingin meningkatkan jumlah produksi,
 maka jumlah pekerja juga harus ditingkatkan minimal dua kali lipat 
juga,” kata dia.
Saat ini, dari 10 orang karyawannya, tidak semuanya memiliki 
kemampuan berinovasi, menciptakan desain baru atau menjahit. Sindu 
berharap dia bisa mendatangkan mereka yang sudah pakar dalam hal 
produksi kerajinan  tas untuk menularkan ilmu mereka.
“Sebab saat ini jika mereka yang memiliki kemampuan lebih membagi 
waktunya untuk melatih yang lain, maka kami akan keteteran untuk 
memenuhi pesanan pelanggan,” kata Sindu.
Masalah lainnya, lanjut dia, kini ternyata hasil karyanya dari ban 
bekas ini sudah mulai ditiru beberapa orang. Sehingga, Sindu kini tengah
 berusaha untuk mematenkan karyanya itu sekaligus mencoba menciptakan 
inovasi-inovasi baru baik tetap menggunakan ban bekas atau bahan-bahan 
lain.
“Kami tetap mengusung konsep “upcycle”. Kami kini tengah mencoba 
membuat produk-produk interior dari besi atau logam-logam bekas, bekerja
 sama dengan perajin lain di Salatiga,” tambah Sindu.
 

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar