Translate

Rabu, 27 Januari 2016

 

Ban Bekas Diolah Jadi Aksesoris Tas dan Perhiasan


Di sebuah rumah kayu bergaya khas Jawa di Desa Tetep Gambir, Salatiga, Jawa Tengah, sekelompok orang yang tergabung dalam Komunitas Sapu tengah melakukan sebuah karya kreatif.
Diselimuti udara sejuk kota yang terletak di kaki Gunung Merbabu itu, kelompok ini tengah melakukan apa yang mereka sebut sebagai proses “upcycle” barang-barang bekas terutama dari ban bekas truk.
“Kami menyebutnya up cycle karena proses perubahan bentuk dari barang bekas ke barang berguna yang kami ciptakan di sini tak butuh waktu lama,” kata Sindu Prasastyo (33), inisiator kelompok kreatif ini.
Lalu apa yang diproduksi komunitas Sapu ini dari ban-ban bekas tersebut? Ternyata mereka memproduksi berbagai aksesoris seperti gelang atau gantungan kunci hingga berbagai jenis dompet dan tas. “Kami membuat dompet, aksesoris, hingga tas laptop dari ban-ban bekas ini. Semuanya ada sekitar 30 item,” tambah Sindu.
Ide kreatif Sindu dan kelompoknya ini memang sangat unik. Siapa sangka dari ban-ban bekas yang bagi sebagian orang tak berharga lagi bisa disulap menjadi barang yang tak hanya berguna namun secara estetika juga patut diapresiasi dan ramah lingkungan. Bagaimana ide kreatif ini berawal?
Sindu menjelaskan ide ini berawal saat dia aktif berkegiatan di LSM Tanam untuk Kehidupan (TUK), sebuah organisasi non-pemerintah yang bergerak di bidang lingkungan di Salatiga dan sekitarnya, dalam kurun waktu 2006-2010. Di situlah pemuda ini banyak belajar dan mengembangkan ide memproduksi barang-barang daur ulang.
“Tapi ide menciptakan sesuatu dari ban bekas baru muncul pada 2010. Awalnya saya mencoba dari plastik. Namun, menurut saya plastik kurang kuat dan awet untuk memproduksi sesuatu. Setelah melewati banyak eksperimen akhirnya ketemu ban bekas,” katanya sambil menambahkan kini dia sudah memiliki pelanggan pemasok ban bekas dari kota Semarang.
Kelebihan ban bekas, lanjut Sindu, selain kuat dan awet, bahan baku ban bekas juga tersedia dalam jumlah yang melimpah. Akhirnya Sindu menetapkan untuk mencoba berkarya menggunakan bahan ban truk bekas.
Sempat merugi
“Saat mulai skalanya masih kecil dan masih bekerja sendiri. Omzet juga maksimal hanya Rp 1.000.000 dan tak jarang harus nombok. Tapi saya yakin kerajinan ini bisa berkembang karena nampaknya di Indonesia belum ada yang menggunakan ban bekas untuk membuat aksesoris dan tas,” paparnya.
Ketika memulai, Sindu menitipkan barang-barang karyanya ke dua buah toko di Jogjakarta. Ternyata sambutan pasar cukup menggembirakan, terutama dari para wisatawan asing yang mengunjungi kota tersebut.
“Sejak 2012 usaha mulai berkembang. Omzet meningkat hingga Rp 15 juta per bulan. Sejak itu saya sudah mulai dibantu lima orang untuk mengerjakan pesanan. Saat ini sudah 10 orang yang membantu saya,” kata dia.
Kini, tambah Sindu, setiap bulan dia mengerjakan pesanan sekitar 1.250 item. Sebanyak 1.000 item adalah pesanan pembeli di luar negeri antara lain Belanda, Perancis, Inggris dan Australia. Sementara sisanya dikirim ke sejumlah toko di Yogyakarta dan Bali.
Dengan kapasitas produksinya saat ini, Sindu mengaku, omzetnya rata-rata per bulan saat ini bisa mencapai Rp 70 juta. Dengan omzet sebesar itu, dia bisa membayar gaji 10 karyawan, mencicil pinjaman ke bank, dan membeli lahan untuk lokasi baru rumah produksinya kelak.
“Harga produksi saya variatif. Kalau aksesoris seperti gelang rata-rata berharga Rp 20.000 per buah.  Sementara tas juga bervariasi, paling mahal tas laptop, harganya Rp 350.000,” kata dia.
Kapasitas produksi
Meski produksinya saat ini sudah meningkat pesat dibanding saat baru memulai usahanya sekitar tiga tahun lalu, Sindu sebenarnya sangat ingin usahanya berkembang lebih lanjut. Namun, kendalanya adalah kapasitas produksi yang masih sangat terbatas.
“Sekarang dengan karyawan 10 orang, kami hanya mampu memproduksi rata-rata 1.250 item per bulan. Jika ingin meningkatkan jumlah produksi, maka jumlah pekerja juga harus ditingkatkan minimal dua kali lipat juga,” kata dia.
Saat ini, dari 10 orang karyawannya, tidak semuanya memiliki kemampuan berinovasi, menciptakan desain baru atau menjahit. Sindu berharap dia bisa mendatangkan mereka yang sudah pakar dalam hal produksi kerajinan  tas untuk menularkan ilmu mereka.
“Sebab saat ini jika mereka yang memiliki kemampuan lebih membagi waktunya untuk melatih yang lain, maka kami akan keteteran untuk memenuhi pesanan pelanggan,” kata Sindu.
Masalah lainnya, lanjut dia, kini ternyata hasil karyanya dari ban bekas ini sudah mulai ditiru beberapa orang. Sehingga, Sindu kini tengah berusaha untuk mematenkan karyanya itu sekaligus mencoba menciptakan inovasi-inovasi baru baik tetap menggunakan ban bekas atau bahan-bahan lain.
“Kami tetap mengusung konsep “upcycle”. Kami kini tengah mencoba membuat produk-produk interior dari besi atau logam-logam bekas, bekerja sama dengan perajin lain di Salatiga,” tambah Sindu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar